Wednesday, February 25, 2009

Makna keindahan dalam tetesan air di dedaunan


Sebetulnya butir-butir air di atas daun karena tetesan hujan di halaman rumah saya itu sudah sering terjadi, tetapi mengapa baru sekarang saya melihat keindahannya. Tetes-tetes air itu sedemikian indahnya dengan butir-butir yang membentuk tekstur acak di atas daun belimbing dan kadang-kadang berbaris rapi di batang daun mangga, ditambah lagi udara yang segar sehabis hujan, sehingga membuat hati dan mata saya tenang memandangnya. Ketika saya melihatnya lagi sore ini, saya keheranan, mengapa mata saya baru terbuka sekarang. Padahal saya sudah tinggal di rumah itu selama 5 tahun, berarti setiap habis hujan dalam kurun waktu tersebut, keindahan itu selalu ada di sana.

Pikiran saya yang terbiasa membuat “target” sedemikian rupa, sehingga saya tidak mampu dan tidak peka melihat keindahan di sekitar saya. Ternyata karena saking seringnya saya membuat target dan berusaha mencapainya, target-target itu tidak hanya tertuang di keseharian saya dalam bentuk pencapaian atas sesuatu, misalnya "performance improvement”, “budget efficiency” or whatever it is. Tetapi bahkan saya sudah memiliki target tersendiri tentang makna “keindahan” yang ingin saya nikmati.


Keindahan itu saya rancang dan targetkan sedemikian rupa misalnya “apabila saya menikmati pemandangan dan suasana indah kota Jogja”, “apabila saya makan enak di restaurant favorit saya yang bernuansa indah di Jakarta”, “apabila saya bisa membeli baju yang indah dipandang dan saya suka” dan seribu target keindahan lainnya. Untuk mencapai keindahan itupun, saya harus berusaha dan berjuang misalnya dengan menabung dan mengetatkan ikat pinggang semikian rupa, seperti berburu tiket diskon dari travel agent, melakukan reservasi di restaurant terlebih dahulu, hunting dari satu toko ke toko yang lain untuk mendapat baju yang saya inginkan dan sebagainya.

Kadang walaupun sudah saya rancang sedemikian rupa, tetapi saya gagal mencapai target keindahan itu dan akhirnya saya kecewa, seperti ketika saya sudah merancang akan menikmati keindahan kota Jogja, ternyata pada saat itu bersamaan dengan peak season, sehingga saya harus berusaha setengah mati untuk bisa mendapat tiket pesawat atau kereta untuk pulang pergi ke Jogja. Ketika sampai di Jogja dan jalan-jalan di kotanya-pun luar biasa padatnya. Jogja yang tidak terbiasa macet, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai ke satu tujuan. Demikian pula ketika sampai di objek-objek wisata dan pusat perbelanjaan Malioboro, saya harus berjuang untuk sekedar menembus kerumunan orang, hingga akhirnya saya memilih untuk pulang karena saya tidak bisa menikmatinya keindahannya.


Sore itu, saat saya melihat lagi butiran-butiran air di atas daun belimbing dan daun mangga, saya bersyukur kepada Tuhan bahwa keindahan tersebut ada di depan saya. Keindahan itu apa adanya ketika saya menikmatinya pada saat itu. Saya tidak perlu membuat target untuk bisa mendapatkannya, saya juga tidak perlu perjuangan untuk menikmatinya, bahkan keindahan tersebut free of charge yang bisa saya lihat dan nikmati at anytime.


Ketika saya melihat lagi di sekeliling saya, ternyata banyak juga keindahan-keindahan lainnya yang selama ini tidak saya lihat, misalnya ketika matahari bersinar, saya bisa melihat pantulan sinarnya yang keperakan di atas dedaunan, kicauan burung bernyanyi di pagi atau sore hari, atau kupu-kupu berwarna-warni yang terbang ke sana kemari.


Memahami segala keindahan di sekeliling saya tersebut, saya jadi teringat lagi akan sebuah kata bijak bahwa “Bagaimana kita memandang hidup ini sebagai sesuatu yang indah atau tidak indah, adalah tergantung dari cara kita memandangnya”. And it’s true !
Written by : Ati Paramita
Photo : Water drops on leaves by Ati Paramita

No comments:

Post a Comment