Saya menatap lagi pelangi yang muncul di atas langit Maastricht sehabis hujan di bulan Agustus 2008. It’s beautiful !. Sudah lama sekali saya tidak melihat keindahan sebuah pelangi, apalagi saat saya tinggal di Jakarta. Mungkin karena polusi udara yang tinggi di Jakarta sehingga membuat kecil kemungkinan untuk bisa melihat sebuah pelangi. Sementara itu di Maastricht mungkin karena kotanya yang relatif kecil dan tingkat polusinya sangat rendah, sehingga fenomena pelangi sehabis hujan tersebut bisa dilihat dengan jelas. Saya jadi teringat, dulu ketika saya menghabiskan masa kecil di kota seperti Jogja dan Magelang, saya juga sering melihat pelangi melintas di langit dan saya sangat suka menikmati keindahannya. Makanya ketika pelangi itu membentang di langit Maastricht, saya optimalkan waktu saya saat itu untuk menikmati keindahannya.
Kadang-kadang saya berpikir, perbedaan warna yang membentuk sebuah pelangi yaitu merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu justru bisa membentuk paduan warna yang sedemikian harmonis sehingga indah untuk dipandang. Saya bayangkan seandainya warna pelangi hanyalah hitam dan putih, mungkin tidak akan indah dan barangkali akan mirip sebuah zebra cross yang menghiasi langit. Atau seandainya warna pelangi hanya coklat dan kuning, mungkin akan seperti kue lapis legit yang melintas di angkasa.
Kita memang dilahirkan tidak dalam kondisi yang sama, misalnya, bisa dibilang tidak semua dari kita memiliki rambut yang lurus, kulit berwarna coklat, kondisi keluarga yang utuh, prinsip hidup yang sama, dan sebagainya. Sebetulnya perbedaan itu adalah sesuatu yang unik yang dapat memperkaya kehidupan kita. Tetapi kadang kita justru sulit menerima perbedaan itu dan bahkan memandangnya sebagai masalah.
Sebagai contoh misalnya, dulu ketika saya bekerja sebagai HRD di salah satu perusahaan, saya sering ditugaskan untuk merekrut karyawan. Beberapa kali saya mendapat “pesan sponsor” dari para user untuk merekrut karyawan yang berasal dari satu daerah atau satu golongan dengannya. Terus terang, saya tidak sependapat dan tidak habis pikir mendengar message tersebut. Sempat terlintas pertanyaan dalam benak saya waktu itu “Bagaimana mungkin kita akan dapat meningkatkan kreatifitas karyawan sebagai salah satu tujuan perusahaan, sementara sejak "masuk pintu gerbang pun siapa yang akan masuk sebagai karyawan sudah diatur sedemikian rupa”.
Contoh yang lain, beberapa hari yang lalu saya juga sempat membaca berita di sebuah harian, ada penumbangan bendera partai politik tertentu yang dipasang dijalan-jalan dan diduga dilakukan oleh oknum dari partai politik yang lain. Saya heran membaca berita ini. Kembali terbersit sebuah pertanyaan yang menggelitik di dalam pikiran “Bagaimana bisa kita belajar mengenai demokrasi, kalau menerima perbedaan saja begitu sulitnya”
Padahal apabila kita cermati lebih lanjut, perbedaan itu sebetulnya justru dapat memperluas pandangan kita, karena kita jadi tahu bahwa ada sisi lain yang selama ini tidak kita lihat dan bisa kita pelajari. Sehingga kita bisa memandang sesuatu dengan utuh. Saya belajar mengenai perlunya keterusterangan dalam berkomunikasi justru dari teman saya yang orang Batak. Sementara pengalaman mengenai ketegaran justru saya dapat dari teman saya yang orang Papua karena kemampuannya menghadapi kondisi yang serba minim di daerah pedalaman. Teman saya yang keturunan Tionghoa banyak mengajarkan kepada saya mengenai keuletan dalam berusaha. Dan masih banyak lagi pengalaman yang bisa saya petik justru dari perbedaan orang-orang di sekitar saya.
Berbicara mengenai perbedaan, saya lalu jadi teringat ketika saya menghadiri wisuda teman saya, Melva pada bulan July 2008 lalu di Maastricht. Di auditorium yang megah di fakultasnya, saya melihat berbagai bangsa ada di sana. Program yang teman saya ikuti ini memang termasuk kelas besar (dengan jumlah mahasiswa sekitar 40) bila dibanding program yang saya ikuti (yang hanya berjumlah 16 mahasiswa). Sehingga bisa tercermin dari mahasiswa di fakultas temen saya tersebut yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Siang itu, Melva tampak cantik dalam balutan kebaya Indonesia yang berwarna kuning keemasan, sementara temannya dari Etiopia mengenakan baju khas negaranya yang berwarna hijau, seorang temannya yang lain dari Rusia mengenakan baju berwarna biru, seorang temannya dari Brazil mengenakan jas rapi berwarna hitam, temannya dari Portugal memakai baju berwarna merah dan masih banyak lagi lainnya. Mereka semua tersenyum tanpa memperdulikan perbedaan yang ada dan mereka justru larut dalam kebahagiaan. Ketika di akhir acara wisuda, mereka berfoto bersama, terlihat paduan harmonis berbagai warna tersebut di atas panggung, tampak indah seperti warna pelangi yang melintas di langit Maastricht sore itu.
Kadang-kadang saya berpikir, perbedaan warna yang membentuk sebuah pelangi yaitu merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu justru bisa membentuk paduan warna yang sedemikian harmonis sehingga indah untuk dipandang. Saya bayangkan seandainya warna pelangi hanyalah hitam dan putih, mungkin tidak akan indah dan barangkali akan mirip sebuah zebra cross yang menghiasi langit. Atau seandainya warna pelangi hanya coklat dan kuning, mungkin akan seperti kue lapis legit yang melintas di angkasa.
Kita memang dilahirkan tidak dalam kondisi yang sama, misalnya, bisa dibilang tidak semua dari kita memiliki rambut yang lurus, kulit berwarna coklat, kondisi keluarga yang utuh, prinsip hidup yang sama, dan sebagainya. Sebetulnya perbedaan itu adalah sesuatu yang unik yang dapat memperkaya kehidupan kita. Tetapi kadang kita justru sulit menerima perbedaan itu dan bahkan memandangnya sebagai masalah.
Sebagai contoh misalnya, dulu ketika saya bekerja sebagai HRD di salah satu perusahaan, saya sering ditugaskan untuk merekrut karyawan. Beberapa kali saya mendapat “pesan sponsor” dari para user untuk merekrut karyawan yang berasal dari satu daerah atau satu golongan dengannya. Terus terang, saya tidak sependapat dan tidak habis pikir mendengar message tersebut. Sempat terlintas pertanyaan dalam benak saya waktu itu “Bagaimana mungkin kita akan dapat meningkatkan kreatifitas karyawan sebagai salah satu tujuan perusahaan, sementara sejak "masuk pintu gerbang pun siapa yang akan masuk sebagai karyawan sudah diatur sedemikian rupa”.
Contoh yang lain, beberapa hari yang lalu saya juga sempat membaca berita di sebuah harian, ada penumbangan bendera partai politik tertentu yang dipasang dijalan-jalan dan diduga dilakukan oleh oknum dari partai politik yang lain. Saya heran membaca berita ini. Kembali terbersit sebuah pertanyaan yang menggelitik di dalam pikiran “Bagaimana bisa kita belajar mengenai demokrasi, kalau menerima perbedaan saja begitu sulitnya”
Padahal apabila kita cermati lebih lanjut, perbedaan itu sebetulnya justru dapat memperluas pandangan kita, karena kita jadi tahu bahwa ada sisi lain yang selama ini tidak kita lihat dan bisa kita pelajari. Sehingga kita bisa memandang sesuatu dengan utuh. Saya belajar mengenai perlunya keterusterangan dalam berkomunikasi justru dari teman saya yang orang Batak. Sementara pengalaman mengenai ketegaran justru saya dapat dari teman saya yang orang Papua karena kemampuannya menghadapi kondisi yang serba minim di daerah pedalaman. Teman saya yang keturunan Tionghoa banyak mengajarkan kepada saya mengenai keuletan dalam berusaha. Dan masih banyak lagi pengalaman yang bisa saya petik justru dari perbedaan orang-orang di sekitar saya.
Berbicara mengenai perbedaan, saya lalu jadi teringat ketika saya menghadiri wisuda teman saya, Melva pada bulan July 2008 lalu di Maastricht. Di auditorium yang megah di fakultasnya, saya melihat berbagai bangsa ada di sana. Program yang teman saya ikuti ini memang termasuk kelas besar (dengan jumlah mahasiswa sekitar 40) bila dibanding program yang saya ikuti (yang hanya berjumlah 16 mahasiswa). Sehingga bisa tercermin dari mahasiswa di fakultas temen saya tersebut yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Siang itu, Melva tampak cantik dalam balutan kebaya Indonesia yang berwarna kuning keemasan, sementara temannya dari Etiopia mengenakan baju khas negaranya yang berwarna hijau, seorang temannya yang lain dari Rusia mengenakan baju berwarna biru, seorang temannya dari Brazil mengenakan jas rapi berwarna hitam, temannya dari Portugal memakai baju berwarna merah dan masih banyak lagi lainnya. Mereka semua tersenyum tanpa memperdulikan perbedaan yang ada dan mereka justru larut dalam kebahagiaan. Ketika di akhir acara wisuda, mereka berfoto bersama, terlihat paduan harmonis berbagai warna tersebut di atas panggung, tampak indah seperti warna pelangi yang melintas di langit Maastricht sore itu.
Written by Ati Paramita
Photo : The rainbow in Maastricht by Satrio Wicaksono
No comments:
Post a Comment