Tuesday, March 31, 2009

Tersenyumlah, maka dunia akan tersenyum bersama kita

Kadang kita menganggap bahwa senyum bukanlah sesuatu yang penting di dalam hidup. Karena saking simpelnya sebuah senyum itu, sehingga kita sering mengganggapnya sebagai sesuatu hal yang biasa, yang hanya kita lakukan pada saat-saat tertentu bila ada sesuatu yang membuat kita geli sehingga kita tersenyum, atau bila kita berhadapan dengan seseorang yang memberi kita senyum sehingga kita membalas dengan tersenyum.

Padahal, senyum memiliki banyak manfaat bagi jiwa kita. Salah satu manfaat tersebut adalah senyum merupakan sebuah cara yang ampuh untuk mendatangkan energi positif. Cobalah ketika perasaan kita sedang tidak enak entah karena marah, kecewa, atau sedih, kemudian kita tersenyum dengan lepas selama beberapa menit. Maka, perlahan-lahan beban yang mengganggu kita akan terasa berkurang. Mengapa? Karena senyum akan menuntun kita untuk memindahkan fokus perhatian dari hal-hal yang meresahkan dan menggantinya dengan hal-hal yang menyenangkan, sehingga energi negatif kita akan tergantikan dengan energi positif.

Manfaat lainnya adalah apabila kita tersenyum dengan tulus kepada orang lain, hal tersebut juga merupakan suatu signal yang kita kirimkan bahwa kita memandang penting makna orang lain tersebut bagi kita. Senyum tulus yang kita berikan akan dapat merubah mood orang-orang di sekitar kita, sehingga mereka merasa lebih nyaman dengan kehadiran kita. Dan apabila mereka membalas dengan senyum juga, maka energi positif itu akan saling memperkuat dan akan mengalirkan suasana yang hangat dan penuh persahabatan.

Ketika saya memberikan training mengenai “positive attitude”, beberapa peserta sering menanyakan kepada saya, “Bagaimana mungkin untuk bisa tersenyum kalau pulang dari kantor melihat jalanan macet, apalagi mengingat harga-harga bahan makanan yang membumbung tinggi di tengah krisis ekonomi ini?”.

Sebetulnya senyum juga akan melatih kita untuk membiasakan diri memandang segala sesuatu yang terjadi pada diri kita dari sisi positif, menuntun kita untuk mensyukuri segala sesuatu yang kita miliki. Jadi kalau pulang dari kantor, kita melihat jalanan macet, mari kita tersenyum dan bersyukur bahwa kita masih dikarunia oleh Tuhan, pekerjaan, tempat kita mencari nafkah walapun kita harus melewati kemacetan untuk berangkat dan pulang dari kantor, sementara itu banyak orang yang kesulitan mendapat pekerjaan atau bahkan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kalau kita teringat harga-harga bahan makanan yang membumbung tinggi, mari kita tersenyum dan bersyukur bahwa kita masih dikaruniai oleh Tuhan, kesehatan, sehingga kita tetap dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan pokok keluarga kita.

Intinya adalah semakin sering kita tersenyum dan mensyukuri keadaan yang terjadi pada diri kita, maka akan semakin mudah bagi kita untuk melihat sisi yang menyenangkan dari suatu peristiwa atau keadaan, apapun itu. Dan dalam jangka panjang hal tersebut akan menjadikan sebuah kebiasaan positif bagi kita, sehingga akan dapat mendatangkan energi positif yang lebih kuat dan membawa berbagai keberuntungan bagi kita.

Jadi, sudahkah anda tersenyum hari ini? Tersenyumlah, maka dunia akan tersenyum bersama kita !!

Written by Ati Paramita


That is why I love relaxation


Tergesa-gesa. Mungkin itulah kata yang tepat untuk mewakili kondisi saya beberapa tahun yang lalu. Pola tergesa-gesa ini sudah cukup lama terbentuk, sehingga tanpa sadar hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi saya. Saya selalu terbiasa memandang segala sesuatu sebagai “urgent”. Ketika saya masih bekerja setiap hari, dari mulai bangun tidur, saya melakukan rutinitas seperti mandi, ganti baju, sarapan, berangkat ke kantor, semua saya jalankan dengan tergesa-gesa. Begitu pula ketika sampai di kantor, aktifitas seperti mengecek email, mem-follow up tugas-tugas, meeting, diskusi dengan team, makan siang, pulang kantor, istirahat dan tidur malam, semua saya lakukan dengan terburu-buru. Bahkan saya sering melakukan multi-tasking dalam arti 2 atau 3 kegiatan bisa saya lakukan dalam satu waktu sekaligus. Ketika di hari Sabtu dan Minggu pada saat saya terbebas dari rutinitas kantor dan melakukan kegiatan refreshing misalnya dengan menonton film, makan di restaurant, jalan-jalan keluar kota, walaupun tidak setergesa hari biasanya, tetapi semuanya masih saya lakukan dengan intonasi “urgent”, seolah ada sesuatu yang mengejar saya.

Dulu saya pikir, hal ini terjadi karena saya tinggal di Jakarta. Jumlah penduduk Jakarta yang sekitar 8 juta orang dan suasana kota metropolitan yang serba tergesa-gesa, saya pikir mempengaruhi pola tersebut dalam hidup saya. Tapi ternyata setelah saya tinggal di Maastricht, Belanda untuk meneruskan sekolah saya, rasa tergesa-gesa tetap ada dan selalu setia menemani saya. Padahal Maastricht, yang memiliki jumlah penduduk hanya 250 ribu, bisa dibilang sebagai kota yang sangat tenang, dengan landscape yang sangat indah, sama sekali jauh dari kesan tergesa-gesa. Berarti, problem sebetulnya memang ada di dalam diri saya, kenapa rasa tergesa-gesa itu selalu hadir menemani saya.

Memang di satu sisi ada bagusnya kebiasaan "urgent" itu. Saya selalu mengerjakan semua tugas yang diberikan pada saya tepat waktu dan dengan hasil yang lumayan bagus. Sampai-sampai saya pernah mendapat promosi tiga kali dalam waktu 5 tahun saya berkerja. Sehingga, orang-orang di sekeliling saya memberikan julukan pada saya “Si Super Ontime”. Ketika saya menuntut ilmu di Maastricht-pun, prestasi saya di kampus bisa dibilang bagus. Bahkan supervisor saya juga menawarkan promosi untuk melanjutkan study, karena performance dan ketepatan waktu saya dalam menyelesaikan study.

Tapi di sisi lain, saya melihat bahwa jauh di lubuk hati saya, tergesa-gesa itu adalah ekspresi dari rasa ‘insecurity’ yang sebetulnya saya miliki. Rasa tidak aman akan masa depan. Rasa tidak aman kalau saya tidak bisa menjadi ‘orang berprestasi’ seperti yang saya dambakan. Rasa tidak aman kalo saya tidak diterima oleh masyarakat karena saya hanya biasa-biasa saja. Dan seribu rasa tidak aman lainnya yang saya ciptakan sendiri dan mungkin akan menjadi sepanjang jalan tol kalo ditulis satu per satu.

Sampai suatu hari saya jatuh sakit yang cukup lama sekitar 2 bulan. Sebetulnya sakitnya tidak parah, rasanya seperti badan saya tidak fit, kecapean sedikit langsung panas di badan, tenggorokan saya sering panas dalam. Anehnya ketika saya melakukan medical check up, semua kondisi fisik saya dalam keadaaan bagus, seperti fungsi jantung, ginjal, lever, kolesterol, gula, paru-paru, dll, semuanya ok. Segala pengobatan medispun sudah saya lakukan. Berbagai macam obat dari dokter juga sudah saya telan. Hingga akhirnya suatu malam, sehabis minum obat, tiba-tiba saya mual dan muntah. Sepertinya saya merasa capek dengan segala ritual medis yang selama ini saya jalani dan pada saat itu saya memutuskan untuk tidak menggantungkan kesehatan saya hanya pada pengobatan medis sama sekali.

Tetapi, saya berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya akan lebih ‘slowing down‘ atas semua yang saya lakukan. It means that saya berdamai dengan kondisi tubuh saya dan menerima dengan sepenuh hati bahwa kondisi tubuh saya memang sedang tidak fit. Saya juga berjanji akan menikmati apapun yang ada di sekitar saya dan kegiatan yang saya lakukan tanpa terburu-buru. Saya juga melakukan kegiatan yang membuat saya asyik, seperti memasak makanan kesukaan saya, mendengarkan musik yang fun and cool, menghabiskan banyak waktu untuk bercanda, melihat acara-acara tv yang lucu, dan menikmati keindahan yang ada di sekitar saya.

Semenjak saat itu ‘I enjoy every breath that I take’. Saya menikmati setiap suapan makanan yang saya makan. Saya menikmati setiap alunan musik yang saya dengar. Saya menikmati setiap momen yang saya jalani dan setiap peristiwa yang ada di depan saya. Saya juga melakukan relaksasi dalam bentuk meditasi yang lebih sering dari yang selama ini saya lakukan. Ketika saya merasa bahwa ‘rasa tergesa-gesa’ mulai menguasai pikiran dan badan saya, saya akan berhenti sejenak dari segala kegiatan dan mengambil nafas perlahan, sampai saya merasa tenang kembali dan meneruskan kegiatan saya. Anehnya, secara perlahan saya mulai merasakan kondisi fisik saya mulai membaik. It’s really amazing ! Sakit saya mulai sembuh dan segala keluhan-keluhan yang kemarin saya rasakan menjadi hilang. Kualitas tidur saya juga mulai membaik dan badan saya juga menjadi lebih fit dari sebelumnya.

Momen ini menyadarkan kepada saya bahwa sebetulnya ada ketidakharmonisan di dalam pikiran, badan dan jiwa saya. It’s commonly known as “a high achiever syndrome”. Selama ini saya hanya menjalani apa yang ada dituntut oleh pikiran saya, seperti ‘tuntutan untuk menjadi seorang yang hebat’, ‘tuntutan untuk diterima masyarakat’, ‘tuntutan untuk berpacu’ dan segala tuntutan lain yang sebetulnya kalau saya telusuri tuntutan tersebut saya ciptakan sendiri dalam pikiran saya. Dengan tuntutan yang sebanyak itu, saya menjadi tidak menghiraukan lagi terhadap apa yang dirasakan oleh badan dan jiwa saya atau bisa dibilang saya menjadi tidak peka. Sehingga badan dan jiwa saya merasa lelah mengikuti kemauan pikiran saya.

Akhirnya setelah saya ‘berdamai’ dengan badan dan jiwa saya, saya merasakan kondisi yang lebih seimbang dalam diri saya. Dan mulai saat itu, ‘relaksasi’ dan ‘ketenangan’ pun menjadi “kawan baru saya”. That is why I love relaxation !

Written by Ati Paramita
Photo : A beautiful swan in Keukenhof by Ati Paramita