Saturday, February 28, 2009

Have a good rest in peace, my dear sister

After struggling against cancer for around 2 years, my eldest sister, Rini, finally passed away a month ago on 5th February 2009 at 07.30 a.m. in Jogja. It’s sad to know that she has gone. But, knowing how she suffered from her sickness and pain, I think it’s better for her now, because she has rested in peace and does not feel any pain anymore. Moreover, I am sure that actually she is not going anywhere, as she will always be in my heart.

A few days ago, I received a post card from my close friend, Julia Becker in Germany and she wrote to me the wise words :“Rini is always alive in your heart, and through her character, her habits, her dreams, and her opinions, she has helped to shape you”. Thank you for reminding me, Julia. I believe that the death of someone who is close to us, is also part of our learning into completion. Although, sometimes maybe we translate it into “incompletion” due to our ego of being lost. But indeed, this “incompletion” is also part of completion, since we actually have grown up and we have changed to be more mature and more independent, not only because of the presence, but also the lost of this person.

Thanks a lot for everything my dear sister, Rini. You have left so many meaningful moments and beautiful memories from the time I knew you, till the time you were gone. Those are precious and indispensable values which will always stay in my heart. I wish you have a good rest in peace now.
I love you.

Written by Ati Paramita
Photo : The blue sky, on the flight from Jogja - Jakarta, by Ati Paramita

Thursday, February 26, 2009

Learning from a rainbow : the beauty of diversity

Saya menatap lagi pelangi yang muncul di atas langit Maastricht sehabis hujan di bulan Agustus 2008. It’s beautiful !. Sudah lama sekali saya tidak melihat keindahan sebuah pelangi, apalagi saat saya tinggal di Jakarta. Mungkin karena polusi udara yang tinggi di Jakarta sehingga membuat kecil kemungkinan untuk bisa melihat sebuah pelangi. Sementara itu di Maastricht mungkin karena kotanya yang relatif kecil dan tingkat polusinya sangat rendah, sehingga fenomena pelangi sehabis hujan tersebut bisa dilihat dengan jelas. Saya jadi teringat, dulu ketika saya menghabiskan masa kecil di kota seperti Jogja dan Magelang, saya juga sering melihat pelangi melintas di langit dan saya sangat suka menikmati keindahannya. Makanya ketika pelangi itu membentang di langit Maastricht, saya optimalkan waktu saya saat itu untuk menikmati keindahannya.

Kadang-kadang saya berpikir, perbedaan warna yang membentuk sebuah pelangi yaitu merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu justru bisa membentuk paduan warna yang sedemikian harmonis sehingga indah untuk dipandang. Saya bayangkan seandainya warna pelangi hanyalah hitam dan putih, mungkin tidak akan indah dan barangkali akan mirip sebuah zebra cross yang menghiasi langit. Atau seandainya warna pelangi hanya coklat dan kuning, mungkin akan seperti kue lapis legit yang melintas di angkasa.

Kita memang dilahirkan tidak dalam kondisi yang sama, misalnya, bisa dibilang tidak semua dari kita memiliki rambut yang lurus, kulit berwarna coklat, kondisi keluarga yang utuh, prinsip hidup yang sama, dan sebagainya. Sebetulnya perbedaan itu adalah sesuatu yang unik yang dapat memperkaya kehidupan kita. Tetapi kadang kita justru sulit menerima perbedaan itu dan bahkan memandangnya sebagai masalah.

Sebagai contoh misalnya, dulu ketika saya bekerja sebagai HRD di salah satu perusahaan, saya sering ditugaskan untuk merekrut karyawan. Beberapa kali saya mendapat “pesan sponsor” dari para user untuk merekrut karyawan yang berasal dari satu daerah atau satu golongan dengannya. Terus terang, saya tidak sependapat dan tidak habis pikir mendengar message tersebut. Sempat terlintas pertanyaan dalam benak saya waktu itu “Bagaimana mungkin kita akan dapat meningkatkan kreatifitas karyawan sebagai salah satu tujuan perusahaan, sementara sejak "masuk pintu gerbang pun siapa yang akan masuk sebagai karyawan sudah diatur sedemikian rupa”.

Contoh yang lain, beberapa hari yang lalu saya juga sempat membaca berita di sebuah harian, ada penumbangan bendera partai politik tertentu yang dipasang dijalan-jalan dan diduga dilakukan oleh oknum dari partai politik yang lain. Saya heran membaca berita ini. Kembali terbersit sebuah pertanyaan yang menggelitik di dalam pikiran “Bagaimana bisa kita belajar mengenai demokrasi, kalau menerima perbedaan saja begitu sulitnya”

Padahal apabila kita cermati lebih lanjut, perbedaan itu sebetulnya justru dapat memperluas pandangan kita, karena kita jadi tahu bahwa ada sisi lain yang selama ini tidak kita lihat dan bisa kita pelajari. Sehingga kita bisa memandang sesuatu dengan utuh. Saya belajar mengenai perlunya keterusterangan dalam berkomunikasi justru dari teman saya yang orang Batak. Sementara pengalaman mengenai ketegaran justru saya dapat dari teman saya yang orang Papua karena kemampuannya menghadapi kondisi yang serba minim di daerah pedalaman. Teman saya yang keturunan Tionghoa banyak mengajarkan kepada saya mengenai keuletan dalam berusaha. Dan masih banyak lagi pengalaman yang bisa saya petik justru dari perbedaan orang-orang di sekitar saya.

Berbicara mengenai perbedaan, saya lalu jadi teringat ketika saya menghadiri wisuda teman saya, Melva pada bulan July 2008 lalu di Maastricht. Di auditorium yang megah di fakultasnya, saya melihat berbagai bangsa ada di sana. Program yang teman saya ikuti ini memang termasuk kelas besar (dengan jumlah mahasiswa sekitar 40) bila dibanding program yang saya ikuti (yang hanya berjumlah 16 mahasiswa). Sehingga bisa tercermin dari mahasiswa di fakultas temen saya tersebut yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Siang itu, Melva tampak cantik dalam balutan kebaya Indonesia yang berwarna kuning keemasan, sementara temannya dari Etiopia mengenakan baju khas negaranya yang berwarna hijau, seorang temannya yang lain dari Rusia mengenakan baju berwarna biru, seorang temannya dari Brazil mengenakan jas rapi berwarna hitam, temannya dari Portugal memakai baju berwarna merah dan masih banyak lagi lainnya. Mereka semua tersenyum tanpa memperdulikan perbedaan yang ada dan mereka justru larut dalam kebahagiaan. Ketika di akhir acara wisuda, mereka berfoto bersama, terlihat paduan harmonis berbagai warna tersebut di atas panggung, tampak indah seperti warna pelangi yang melintas di langit Maastricht sore itu.

Written by Ati Paramita
Photo : The rainbow in Maastricht by Satrio Wicaksono

Wednesday, February 25, 2009

Makna keindahan dalam tetesan air di dedaunan


Sebetulnya butir-butir air di atas daun karena tetesan hujan di halaman rumah saya itu sudah sering terjadi, tetapi mengapa baru sekarang saya melihat keindahannya. Tetes-tetes air itu sedemikian indahnya dengan butir-butir yang membentuk tekstur acak di atas daun belimbing dan kadang-kadang berbaris rapi di batang daun mangga, ditambah lagi udara yang segar sehabis hujan, sehingga membuat hati dan mata saya tenang memandangnya. Ketika saya melihatnya lagi sore ini, saya keheranan, mengapa mata saya baru terbuka sekarang. Padahal saya sudah tinggal di rumah itu selama 5 tahun, berarti setiap habis hujan dalam kurun waktu tersebut, keindahan itu selalu ada di sana.

Pikiran saya yang terbiasa membuat “target” sedemikian rupa, sehingga saya tidak mampu dan tidak peka melihat keindahan di sekitar saya. Ternyata karena saking seringnya saya membuat target dan berusaha mencapainya, target-target itu tidak hanya tertuang di keseharian saya dalam bentuk pencapaian atas sesuatu, misalnya "performance improvement”, “budget efficiency” or whatever it is. Tetapi bahkan saya sudah memiliki target tersendiri tentang makna “keindahan” yang ingin saya nikmati.


Keindahan itu saya rancang dan targetkan sedemikian rupa misalnya “apabila saya menikmati pemandangan dan suasana indah kota Jogja”, “apabila saya makan enak di restaurant favorit saya yang bernuansa indah di Jakarta”, “apabila saya bisa membeli baju yang indah dipandang dan saya suka” dan seribu target keindahan lainnya. Untuk mencapai keindahan itupun, saya harus berusaha dan berjuang misalnya dengan menabung dan mengetatkan ikat pinggang semikian rupa, seperti berburu tiket diskon dari travel agent, melakukan reservasi di restaurant terlebih dahulu, hunting dari satu toko ke toko yang lain untuk mendapat baju yang saya inginkan dan sebagainya.

Kadang walaupun sudah saya rancang sedemikian rupa, tetapi saya gagal mencapai target keindahan itu dan akhirnya saya kecewa, seperti ketika saya sudah merancang akan menikmati keindahan kota Jogja, ternyata pada saat itu bersamaan dengan peak season, sehingga saya harus berusaha setengah mati untuk bisa mendapat tiket pesawat atau kereta untuk pulang pergi ke Jogja. Ketika sampai di Jogja dan jalan-jalan di kotanya-pun luar biasa padatnya. Jogja yang tidak terbiasa macet, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai ke satu tujuan. Demikian pula ketika sampai di objek-objek wisata dan pusat perbelanjaan Malioboro, saya harus berjuang untuk sekedar menembus kerumunan orang, hingga akhirnya saya memilih untuk pulang karena saya tidak bisa menikmatinya keindahannya.


Sore itu, saat saya melihat lagi butiran-butiran air di atas daun belimbing dan daun mangga, saya bersyukur kepada Tuhan bahwa keindahan tersebut ada di depan saya. Keindahan itu apa adanya ketika saya menikmatinya pada saat itu. Saya tidak perlu membuat target untuk bisa mendapatkannya, saya juga tidak perlu perjuangan untuk menikmatinya, bahkan keindahan tersebut free of charge yang bisa saya lihat dan nikmati at anytime.


Ketika saya melihat lagi di sekeliling saya, ternyata banyak juga keindahan-keindahan lainnya yang selama ini tidak saya lihat, misalnya ketika matahari bersinar, saya bisa melihat pantulan sinarnya yang keperakan di atas dedaunan, kicauan burung bernyanyi di pagi atau sore hari, atau kupu-kupu berwarna-warni yang terbang ke sana kemari.


Memahami segala keindahan di sekeliling saya tersebut, saya jadi teringat lagi akan sebuah kata bijak bahwa “Bagaimana kita memandang hidup ini sebagai sesuatu yang indah atau tidak indah, adalah tergantung dari cara kita memandangnya”. And it’s true !
Written by : Ati Paramita
Photo : Water drops on leaves by Ati Paramita

Welcome aboard


Dear Readers,

Perhaps not all of us could see the beautiful view of early morning dew when we wake up every morning, due to several reasons. Maybe because we live in the middle of metropolitan city which is surrounded by so many buildings, so it’s rarely to find this refreshing view, or maybe we live in the lowland or close to the sea which may not be possible to see this relieving view, or even maybe we are too busy with our day to day activities, so that we don’t care anymore with the beautifulness of anything surrounds us.

However, although we could not see the beautiful view of early morning dew every day, I believe there are other similar views surrounding us which are also beautiful and they could make us feeling in peace and harmony, such as the sensation of blowing wind, the voice of birds, the light of stars, and even the courtesy of our neighbors.

This blog is a compilation of meaningful stories which are taken from the experience of my self as well as several close friends. I hope by giving a title of “Early Morning Dew”, it could bring the peacefulness and harmonious feeling of early morning dew into our hearts.

Enjoy reading this blog!
____________________________________________________________________________

Pembaca yang baik,

Barangkali tidak semua dari kita dapat menikmati keindahan tetesan embun di pagi hari hari. Ada beberapa alasan untuk itu, mungkin karena kita tinggal di tengah kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi sehingga jarang melihat pemandangan yang menyejukkan itu, mungkin juga karena kita tinggal di dataran rendah yang cukup panas sehingga kita tidak bisa menemukan dedaunan dengan tetesan embunnya, atau mungkin juga karena kita terlalu sibuk dengan kegiatan kita sehari-hari, sehingga kita tidak peduli atau tidak peka dengan keindahan tersebut.

Meskipun kita tidak dapat melihat keindahan tetesan embun di pagi hari tersebut, namun sebetulnya ada banyak keindahan lain yang serupa, yang berada di sekitar kita dan dapat membuat kita merasakan ketenangan dan kedamaian di tengah hiruk pikuknya kehidupan yang kita jalani. Misalnya tiupan angin yang lembut di antara pepohonan di sekitar kita, suara kicauan burung yang bersahut-sahutan dengan riang, pemandangan bintang-bintang yang bersinar ceria di malam hari, maupun sapaan tetangga kita yang ramah.

Blog ini merupakan kumpulan cerita yang penuh makna yang diambil dari pengalaman saya ataupun teman-teman dekat saya. Dengan memberi nama “Early Morning Dew” atau “Tetesan Embun di Pagi Hari”, saya berharap semoga dengan memetik makna dari kisah-kisah tersebut, dapat membawa kesejukan dan keteduhan di hati kita seperti saat kita menatap tetesan embun di pagi hari.

Selamat membaca !
Cheers,
Ati Paramita

Photo : Early Morning Dew in Garut by Three Wy