Tuesday, June 2, 2009

Arti kebahagiaan dalam kesederhanaan


Beberapa hari yang lalu kebetulan saya bertemu seorang teman di kantornya yang eksklusif di kawasan Sudirman, Jakarta and we had a conversation about life. Sebut saja nama teman saya itu “Mr Executive” karena dia seorang executive director yang bisa dibilang mapan, dengan jabatan yang tinggi di sebuah perusahaan multinational. Usianya masih terbilang muda. Namun demikian, segala fasilitas materi sudah berhasil dia gapai. Dari mulai rumah yang indah di kawasan elit, mobil kantor dan mobil pribadi yang siap membawa dia dan keluarganya ke mana saja, dan gadget terbaru yang siap membantu semua aktifitasnya. Pendidikan dan posisi yang tinggi pun sudah berhasil dia raih. Bahkan berkali-kali dia meraih penghargaan dari dalam dan luar perusahaan tempat dia bekerja yang berbuah kenaikan gaji atau reward jalan-jalan ke luar negeri.

Tapi lucunya, ketika itu dia mengungkapkan kepada saya bahwa dia masih belum bahagia atas semua pencapaian itu. Dia mengatakan bahwa dia belum memiliki ini dan itu. Dia juga menceritakan bahwa ada beberapa teman satu angkatan waktu kuliahnya dia dulu sudah memiliki pencapaian materi yang jauh di atas dia. Di sela-sela pembicaraan, dia bahkan mengeluh berbagai hal yang tidak menyenangkan yang dia rasakan selama bekerja di perusahaan tersebut. Ketika saya tanya bagaimana definisi kebahagiaan menurut dia. Dia menuturkan bahwa “kebahagiaan adalah apabila kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan seperti posisi, gaji, pengakuan, fasilitas materi dan sebagainya”.

Saya jadi termenung kemudian. Ada pertanyaan mendasar yang terlintas dalam benak saya “Sedangkal itukah makna kebahagiaan?”. Kalau kebahagiaan identik dengan pencapaian keinginan atau materi, maka saya rasa hanya orang–orang tertentu saja yang akan mampu mencapainya. Kalau kebahagiaan selalu diperbandingkan dengan orang lain, maka mungkin “rumput tetangga akan selalu lebih hijau dari rumput di rumah sendiri”. Kalau kebahagiaan adalah suatu tujuan, maka pasti akan sangat sulitlah untuk mencapainya, karena tujuan itu sendiri sifatnya relatif, yang bisa berubah pada saat kita sudah mencapainya. Tetapi apakah makna kebahagiaan memang hanya sedemikian?

Lalu muncul pertanyaan lain dalam pikiran saya : bagaimana dengan seorang yang kebetulan dilahirkan dalam kondisi yang tidak mampu secara materi atau memiliki kekurangan secara fisik? Apakah mereka lantas tidak layak untuk mencapai kebahagiaan seperti definisi yang dituturkan oleh teman saya Si Mr. Executive itu.

Beberapa hari kemudian, saya juga sempat bertemu dengan seorang teman yang lain. Sebut saja namanya “Mr Simple”. Dia berprofesi seorang cleaning service di salah sebuah perusahaan. Usianya bisa dibilang tidak lagi muda, karena rambutnya yang nyaris putih semua. Tetapi raut wajahnya yang teduh dan senyum selalu terpancar di mukanya membuat saya selalu asyik bila ngobrol dengannya. Saya bertemu dengan teman saya tersebut di halaman kantornya yang rindang, sehabis dia selesai menyapu dedaunan yang jatuh berserakan di tanah. Saya mengobrol santai dengannya di suasana sore yang cerah itu. Ketika saya bercerita tentang perjuangan saya untuk bisa survive hidup di luar negeri. Dengan arifnya dia bilang kepada saya tanpa meninggalkan logat jawanya yang kental “Sampunlah mboten sah dipun penggalih, urip puniko njih mekaten, dipun sekecakaken kemawon sak wontenipun, mangkih lak njur kepenak” (Sudahlah, tidak usah dipikirkan, hidup itu ya memang begitu, dinikmati saja apa adanya, nanti kan enak menjalaninya).

Saya tercekat mencermati kalimatnya yang sederhana, tetapi cukup dalam maknanya. Kemudian, saya bertanya lebih jauh mengenai apa makna kebahagiaan untuknya. Dengan santainya dia menjawab “Ya seperti ini, selesai menyapu saya duduk di bawah pohon yang rindang, merasakan angin sepoi-sepoi, sambil menikmati secangkir kopi yang dipesan dari warung tegal di sebelah kantor”. Saya seperti tersentak tersadarkan diri mendengar penjelasannya. Saya yang sudah melanglang buana ke sana kemari, ternyata belum bisa memahami arti kebahagiaan yang ternyata sangat sederhana seperti yang dituturkan oleh Mr. Simple.

Saya lalu berpikir : mengapa kita harus menunggu untuk mencapai sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah tujuan seperti kata teman saya si Mr. Executive itu. Kebahagiaan adalah jalan menuju apapun tujuan kita. Kebahagiaan ada di mana-mana di sekitar kita dan kita tidak perlu repot mencarinya. Yang kita perlukan hanyalah satu ‘merasa bahagia’ dengan apapun kondisi kita. Karena sangat simplenya makna kebahagiaan itu, sehingga otak kita yang terbiasa kita gunakan untuk menganalisa berbagai kerumitan menjadi tidak peka dengan kesederhanaan tersebut. Barangkali teman saya Mr. Executive perlu belajar untuk melihat dan menerapkan makna kebahagiaan dari Mr. Simple.

Saya lalu tersenyum, di dalam hati saya berkata bahwa saya tidak akan menunggunya sampai saya mencapai sesuatu tujuan untuk bisa bahagia. Saya memutuskan bahwa saya berhak untuk bahagia sekarang ini juga. Perlahan-lahan saya hirup aroma wedang jahe yang ada di depan saya dan kemudian saya menyeruputnya. Hmmm……. Betapa nikmatnya. Ternyata hanya dengan sebuah wedang jahe panas di musim hujan yang dingin begini saya merasakan dan memahami makna kebahagiaan.

Written by Ati Paramita
Photo : Beautifulness in Simplicity by Denny Surya Martha

2 comments:

  1. mbak Ati...setuju banget...kebahagiaan itu bukan datang dari luar..tapi dalam diri kita sendiri bagaimana kita memandang dan memaknai kebahagiaan itu sendiri...(walah kok aku sok tau..hehe..)

    -three, LA-

    ReplyDelete
  2. Terima kasih udah mampir, Three :). As we have discussed last time, happiness is a journey, not a destination. Semoga kebahagiaan selalu mewarnai setiap langkah Three.

    ReplyDelete